ATRESIA DUODENUM,MENINGOKEL,Esofagus ATRESIA DUODENUM,MENINGOKEL,Esofagus

ATRESIA DUODENUM,MENINGOKEL,Esofagus

ATRESIA DUODENUM
Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia duodenum.
Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan
rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi).
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
Epidemiologi
Insiden atresia duodenum di Amerika Serikat adalah 1 per 6000 kelahiran. Obstruksi duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi duodenal kongenital (atresia duodenal 40-60%, duodenal web 35-45%, pankreas anular 10-30%, stenosis duodenum 7-20%). Insiden obstruksi kongenital di Finlandia (intrinsik, ekstrinsik, dan campuran) adalah 1 per 3400 kelahiran hidup. Tidak terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini.
Mortalitas dan Morbiditas
Jika atresia duodenum atau stenosis duodenum signifikan tidak ditangani, kondisinya akan segera menjadi fatal sebagai akibat gangguan cairan dan elektrolit. Sekitar setengah dari neonatus yang menderita atresia atau stenosis duodenum lahir prematur. Hidramnion terjadi pada sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau stenosis duodenum paling sering dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien obstruksi duodenum menderita trisomi 21.
Manifestasi Penyakit
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau duodenal web dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak atau remaja.
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.
Gejala atresia duodenum:
• Bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas
• Muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu (biliosa)
• Muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam
• Tidak memproduksi urin setelah beberapa kali buang air kecil
• Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada usus distal mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal dan atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk atresia dan stenosis duodenum pada neonatus mencakup:
• Atresia esofagus
• Malrotasi dengan volvulus midgut
• Stenosis pilorus
• Pankreas anular
• Vena portal preduodenal
• Atresia usus
• Duplikasi duodenal
• Obstruksi benda asing
• Penyakit Hirschsprung
• Refluks gastroesofageal
Penanganan
Tuba orogastrik dipasang untuk mendekompresi lambung. Dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit dikoreksi dengan memberikan cairan dan elektrolit melalui infus intravena. Lakukan juga evaluasi anomali kongenital lainnya. Masalah terkait (misalnya sindrom Down) juga harus ditangani.
Pembedahan untuk mengoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun tidak darurat. Pendekatan bedah tergantung pada sifat abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasif.
Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.


MENINGOKEL

Meningokel merupakan penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang disebut Neural tube defect (NTD). Meningokel disebabkan oleh banyak faktor dan melibatkan banyak gen (multifaktoral dan poligenik). Banyak sekali penelitian yang mengungkap bahwa sekitar tujuhpuluh persen kasus NTD dapat dicegah dengan suplementasi asam folat, sehingga defisiensi asam folat dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam teratogenesis meningokel. Basis molekul defisiensi asam folat adalah kurang adekuatnya enzim enzim yang mentransfer gugus, karbon dalam proses metilasi protein dalam sel, baik dalam nukleus maupun mitokhondria, sehingga terjadi gangguan biosintesis DNA dan RNA. serta kenaikan kadar homosistein.

Defek tulang pada meningokel secara embriologis terjadi akibat gangguan proses neurulasi, yaitu tetap melekatnya ektoderm epidermis dengan ektoderm neural sehingga migrasi sel sel mesoderm pembentuk tulang ke tempat tersebut terhambat dengan akibat di area itu tidak terbentuk tulang (teori non separasi dari Stemberg). Dalam proses ini, faktor pertumbuhan yang berfungsi memacu sintesis matriks tulang mungkin juga berperan. Terdapat dua macarn faktor pertumbuhan dimaksud di atas yaitu TGF β (khususnya TGF ,β1) dan IGF 1, yang dalam banyak penelitian telah dibuktikan aksinya pada pembentukan tulang.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengungkap korelasi defisiensi asam folat dengan kadar TGF ,β1 dan 1GF 1 dalam serum maupun dalam tulang, serta korelasi kadar kedua faktor pertumbuhan tersebut dalam tulang kepala pasien meningokel dengan lebar defek. Bila kedua hal tadi telah terungkap, maka proses teratogenesis meningokel menjadi lebih jelas. Penelitian ini menggunakan dua macam cara, sesuai dengan hipotesis yang hendak diuji, yaitu metode eks perimental laboratoris dengan hewan coba tikus dan metode observasional klinis pada pasien meningokel.

Derajat defisiensi asam folat dikelompokkan dalam kategori berat dan ringan sesuai dengan rangsum yang diberikan, yaitu rangsum sangat rendah folat dan rangsum rendah folat, sedangkan untuk kontrol adalah rangsum cukup folat. Komposisi rangsum dibuat sesuai dengan standar kandungan dan takaran purified diet yang selama ini telah digunakan, meliputi : glukosa, selulosa, casein non vitamin, sunflower oil, choline cl., mineral, vitamin tanpa folat dan trace element. Asam folat dengan tiga takaran yang berbeda untuk seliap kelompok hewan coba, diberikan lewat sonde oral. Enambelas minggu selelah pemberian diet, darah hewan coba diambil untuk pemeriksaan kadar asam folat, TGF ,β1 dan IGF I, Hewan coba kemudian dikawinkan, selelah janin lahir diambil tulang kepalanya untuk pemeriksaan kadar TGF βl dan IGF 1. Pada pasien meningokel, sewaktu operasi eksisi dengan metode standar, jaringan tulang tepi defek diambil sedikit untuk pemeriksaan TGF ,β1 dan IGF I, dan lebar defek diukur dengan antropometer Martin.

Hasil analisis data menunjukkan adanya korelasi yang cukup kuat kadar asam folat dalam eritrosit dengan kadar TGF ,β1 (p= 0.077; r 0.346) dan 1GF 1 (p= 0.020; r 0.475)) dalam serum induk. Korelasi kadar asam folat dalam serum dengan kadar TGF β1 serum (p= 0.062, r 0.351) cukup kuat, sedangkan korelasinya dengan kadar IGF l serum kurang kuat (p= 0.429; r 0.155). Terdapat korelasi yang kuat kadar TGF ,β1 dan IGF I dalam serum induk dengan kedar TGF βl (p= 0.017, r 0.361) dan 1GF 1 (p= 0.000, r 0.517 ) dalam tulang kepala janin. Juga terdapat korelasi negatif yang kuat antara kadar TGF ,β1 tulang kepala janin dengan jumlah sel apoptosis (p= 0.001, r= 0.541), serta kadar IGF I dengan jumlah sel nekrosis (p= 0.004, r 0.469), sedangkan korelasi negatif kadar TGF βl dengan jumlah sel nekrosis (p= 0.180, r= 0.219) dan kadar 1GF 1 dengan jumiah sel apoptosis (p= 0.701, r 0.064) sangat lemah. Pada pasien meningokel, terdapat korelasi negatif yang kuat antara kadar TGF ,β1 dan IGF I di tulang kepala tepi defek dengan lebar defek (TGF ,βl p=0.009, r 0.648; IGF 1: p= 0.025, r 0.426 ).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi kadar asam folat yang cukup kuat dengan kadar TGF ,β1 dan IGF I, serta jumlah sel apoptosis dan nekrosis; demikian juga dengan proses terbentuknya defek tulang pada pasien meningokel. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang konsep baru terbentuknya defek tulang kepala pada meningokel yang dikaitkan dengan defisiensi asam folat. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memperluas aspek pencegahan bagi kasus meningokel dan kelainan neural tube defect pada umumnya, serta aspek pengobatan terhadap kasus defek tulang kepala, bahkan sejak pasien masih berada di dalam kandungan.


Esofagus
Esofagus (dari bahasa Yunani: οiσω, oeso - "membawa", dan έφαγον, phagus - "memakan") atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses peristaltik.
Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus dengan rongga mulut – pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

Related Post: