Kelainan Refraksi Kelainan Refraksi

Kelainan Refraksi


MIOPIA

BATASAN
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibias membentuk bayangan di depan retina

PATOFISIOLOGI
Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang terlalu kuat untuk panjangnya bola mata akibat :
1.Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter antero-posterior yang lebih panjang, bola mata yang lebih panjang ) disebut sebagai miopia aksial
2.Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut miopia kurvatura/refraktif
3.Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes mellitus. Kondisi ini disebut miopia indeks
4. Miopi karena perubahan posisi lensa
Posisi lensa lebih ke anterior, misalnya pasca operasi glaukoma

GEJALA KLINIS
Gejala utamanya kabur melihat jauh
Sakit kepala (jarang)
Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan efek pinhole), dan selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda pada mata
Suka membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan membaca dekat masih belum diketahui dengan pasti.



PEMBAGIAN
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi :
1. miopia ringan : ∫-0,25 D s/d ∫-3,00 D
2. myopia sedang : ∫-3,25 D s/d ∫-6,00 D
3. myopia berat : ∫-6,25 D atau lebih

Berdasarkan perjalanan klinis, dibagi :
1. myopia simpleks : dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah sampai anak
berhenti tumbuh ( ±20 tahun )
2. myopia progresif/maligna : myopia bertambah secara cepat ( ± 4.0 D / tahun ) dan
sering disertai perubahan vitero-retinal

ada satu tipe miopia pada anak dengan miopia 10 D atau lebih yang tidak berubah sampai dewasa


DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
Refraksi Subyektif
Metoda ‘trial and error’
Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki
Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
Mata diperiksa satu persatu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata
Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis negatif

Refraksi Obyektif
a.Retinoskopi : dengan lensa kerja ∫+2.00 pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak berlawanan arah dengan arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi dengan lensa sferis negatif sampai tercapai netralisasi
b.Autorefraktometer (komputer)

PENATALAKSANAAN
1.Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik
2.Lensa kontak
Untuk : anisometropia
Myopia tinggi
3.Bedah refrakstif
a. bedah refraktif kornea : tindakan untuk mengubah kurvatura permukaan anterior kornea ( Excimer laser, operasi lasik )
b. bedah refraktif lensa : tindakan ekstraksi lensa jernih, biasanya diikuti dengan implantasi lensa intraokuler

KOMPLIKASI
1.Ablatio retina terutama pada myopia tinggi
2.Strabismus
a.esotropia bila myopia cukup tinggi bilateral
b.bexotropia pada myopia dengan anisometropia
3.Ambliopia terutama pada myopia dan anisometropia


HIPERMETROPIA

BATASAN
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi ) akan dibias membentuk bayangan di belakang retina



PATOFISIOLOGI
1.Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal
2.Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih lemah dari normal
3.Hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebih rendah dari normal

GEJALA KLINIS
1.Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih, hipermetropia pada orang tua dimana amplitude akomodasi menurun
2.Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang terang atau penerangan kurang
3.Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan membaca dekat
4.Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif=eye strain) terutama bila melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas dalam waktu yang lama, misalnya menonton TV, dll
5.Mata sensitif terhadap sinar
6.Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
7.Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti oleh konvergensi yang berlebihan pula

PEMBAGIAN
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi :
1. Hipermetropia ringan : ∫-0,25 s/d ∫-3,00
2. Hipermetropia sedang : ∫-3,25 s/d ∫-6,00
3. Hipermetropia berat : ∫-6,25 atau lebih

Berdasarkan kemampuan akomodasi, dibagi :
1.Hipermetropia laten : kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi dengan tonus otot siliaris secara fisiologis, di mana akomodasi masih aktif
2.Hipermetropia manifes,

dibagi :
a.Hipermetropia manifes fakultatif : kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya atau dengan lensa sferis positif
b.Hipermetropia manifes absolut : kelainan hipermetropik yang tidak dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya
3. Hipermetropia total :
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia

DIAGNOSIS/CARA PEMERIKSAAN
Refraksi Subyektif
Metoda ‘Trial and Error’
Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki
Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
Mata diperiksa satu persatu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata
Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif
Pada anak-anak dan remaja dengan visus 6/6 dan keluhan asthenopia akomodativa dilakukan tes sikloplegik, kemudian ditentukan koreksinya
Refraksi Obyektif
a.retinoskopi : dengan lensa kerja ∫+2.00, pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak searah dengan arah gerakan retinoskop ( with movement), kemudian dikoreksi dengan lensa sferis positif sampai tercapai netralisasi
b.autorefraktometer (komputer)

PENATALAKSANAAN
1.Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik


2.Lensa kontak
Untuk : anisometropia
Hipermetropia tinggi

KOMPLIKASI
1.Glaukoma sudut tertutup
2.Esotropia pada hipermetropia >2.0 D
3.Ambliopia terutama pada hipermetropia dan anisotropia. Hipermetropia merupakan penyebab tersering ambliopia pada anak dan bisa bilateral

ASTIGMATISME

BATASAN
Suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.

PATOFISIOLOGI
1.Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur
2.Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa
3.Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
4.Trauma pada kornea
5.Tumor

GEJALA KLINIS
1.Pengelihatan kabur atau terjadi distorsi
2.Pengelihatan mendua atau berbayang - bayang
3.Nyeri kepala
4.Nyeri pada mata

PEMBAGIAN
Berdasarkan posisi garis focus dalam retina Astigmatisme dibagi menjadi
1.Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang yang lain.
a.Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang horizontal.
b.Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang vertikal
2.Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur

Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina Astigmatisme dibagi :
1.Astigmatisme Miopia Simpleks
2.Astigmatisme Miopia Kompositus
3.Astigmatisme Hiperopia Simpleks
4.Astigmatisme Hiperopia Kompositus
5.Astigmatisme Mixtus

DIAGNOSIS
Refraksi Subjektif
1.Trial and Error
2.Pemeriksaan Fogging Technique dengan grafik Astigmatisme
3.Cross Cylinder Technique
Refraksi Objektif
1.Retinoskopi
2.Refraktometri
3.Topografi kornea
4.Keratometri

PENATALAKSANAAN
1.Kaca Mata
2.Lensa Kontak
3.LASEK
4.Astigmatisme Keratotomy

PRESBIOPIA

BATASAN
Suatu kelainan refraksi simana hilangnya daya akomodasi terjadi bersamaan dengan proses penuaan.

PATOFISIOLOGI
Adanya proses penuaan membuat daya akomodasi lensa menjadi semakin lemah.

GEJALA KLINIS
1.Pengelihatan kabur pada jarak dekat maupun jarak jauh.
2.Kesulitan pada waktu membaca dekat huruf dengan cetakan kecil, untuk membaca lebih jelas maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan objek yang dibacanya
3.Pengelihatan kabur bertambah seiring dengan usia.

DIAGNOSIS
1.Kartu SNELLEN
2.Kartu Jaeger

PENATALAKSANAAN
1.Kaca Mata bifocal atau trifokal
Dengan pedoman bila diatas 40 tahun ditambah S+1.00 dan setiap 5 tahun diatasnya ditambah S+0.50
2.Conductive Keratoplasty

Diposkan oleh ExDeath di 02:42 2 komentar
Jumat, 2008 Maret 07
Ulkus Kornea
Definisi
Tukak kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase oleh sel epitel baru dan sel radang.
Dikenal dua bentuk tukak pada kornea yaitu sentral dan marginal / perifer. Tukak kornea perifer dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun dan infeksi. Infeksi pada kornea perifer biasanya oleh kuman Stafilokok aureus, H. influenza dan M. lacunata.

Etiologi
Penyebab tukak kornea :
1.Infeksi bakteri
Bakteri yang sering menyebabkan tukak kornea adalah Streptokokus alfa hemolitik, Stafilokokus aureus, Moraxella likuefasiens, Pseudomonas aeroginosa, Nocardia asteroids, Alcaligenes sp, Streptokokus anaerobic, Streptokokus beta hemolitik, Enterobakter hafniae, Proteus sp, Stafilokokus epidermidis, infeksi campuran Erogenes dan Stafilokokus aureus.
2.Infeksi jamur
3.Infeksi virus
4.Defisiensi vitamin A
5.Lagophtalmus akibat parese N. VII dan N.III
6.Trauma yang merusak epitel kornea
7.Ulkus Mooren
Macam Tukak Kornea
Berdasarkan bentuknya tukak kornea dibagi menjadi :
1.Marginal
2.Fokal
3.Multifokal
4.Difus disertai masuknya pembuluh darah kedalamnya


Perjalanan Penyakit Tukak Kornea
1.Progresif
Pada proses kornea yang progresif dapat terihat, infiltrasi sel lekosit dan limfosit yang memakan bakteri atau jaringan nekrotik yang terbentuk.
2.Regresif
3.Membentuk jaringan parut
Pada pembentukan jaringan parut akan terdapat epitel, jaringan kolagen baru dan fibroblast.
Berat ringannya penyakit juga ditentukan oleh keadaan fisik pasien, besar dan virulensi inokulum.
Gejala Klinis
1.Mata merah
2.Sakit mata ringan hingga berat
3.Fotofobia
4.Penglihatan menurun
5.Kekeruhan berwarna putih pada kornea
Gejala yang dapat menyertai adalah terdapatnya penipisan kornea, lipatan Descemet, reaksi jaringan kornea (akibat gangguan vaskularisasi iris), berupa suar, hipopion, hifema dan sinekia posterior.

Pada tukak kornea yang disebabkan oleh jamur dan bakteri akan terdapat defek epitel yang dikelilingi PMN. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitifitas disekitarnya.
Biasanya kokus gram positif, Stafilokokus aureus dan Streptokokus pneumoni akan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjung, berwarna putih abu-abu pada anak tukak yang supuratif. Daerah kornea yang tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang.
Bila tukak disebabkan Pseudomonas maka tukak akan terlihat melebar dengan cepat, bahan purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan tukak.
Bila tukak disebabkan jamur maka infiltrat akan berwarna abu-abu dikelilingi infiltrat halus disekitarnya (fenomena satelit).
Bila tukak berbentuk dendrite akan terdapat hipestesi pada kornea. Tukak yang berjalan cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi kornea yang berakhir dengan membuat suatu bentuk lekoma adheren.
Bila proses pada tukak berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa sakit, fotofobia, berkurang infiltrate pada tukak dan defek epitel kornea menjadi bertambah kecil.

Pemeriksaan Penunjang
Dengan pemeriksaan biomikroskopi tidak mungkin untuk mengetahui diagnosis kausa tukak kornea.
Tukak kornea akan memberikan kekeruhan berwarna putih pada kornea dengan defek epitel yang dengan pewarnaan fluorescein akan berwarna hijau ditengahnya. Iris sukar dilihat karena keruhnya kornea akibat edema dan infiltrasi sel radang pada kornea.
Diagnosis laboratorium tukak kornea adalah keratomalasia dan infiltrate sisa karat benda asing.
Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat diagnosa kausa. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan melakukan sediaan hapus yang menggunakan larutan KOH.
Sebaiknya pada setiap tukak kornea dilakukan pemeriksaan agar darah, Sabouroud, Triglikolat dan agar coklat.
Pengobatan Tukak Kornea
Pengobatan umumnya untuk tukak kornea adalah dengan sikloplegik, antibiotika yang sesuai topical dan subkonjungtiva, dan pasien bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
Pengobatan pada tukak kornea betujuan menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika dan mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara umum tukak diobati sebagai berikut :
Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai incubator.
Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari.
Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder.
Debridement sangat membantu penyembuhan.
Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat.

Pengobatan dihentikan bila terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah 1-2 minggu.
Pada tukak kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti apabila :
Dengan pengobatan tidak sembuh.
Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan.

Ulkus sentral
Ulkus sentral dibedakan 2 menjadi : ulkus kornea sentral dan ulkus kornea marginal.
Etiologinya dapat berasal dari bakteri, virus maupun jamur. Mikroorganisme ini tidak mudah masuk ke kornea selama epitelnya sehat, sehingga diperlukan faktor predisposisi seperti erosi pada kornea, keratitis neurotrofik atau pemakai kortikosteroid atau imunosupresif, pemakai obat lokal anestetika, pemakai IDU, pasien Diabetes Mellitus, atau ketuaan.

Tukak (ulkus) marginal
Tukak marginal merupakan peradangan kornea bagian perifer berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat kelainannya. Sumbu memanjang daerah peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea. Diduga dasar kelainannya adalah suatu reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokokus (kurang lebih 50%). Penyakit infeksi lokal dapat mengakibatkan keratitis katarak atau keratitis marginal. Keratitis marginal biasanya terdapat pada pasien setengah umur, dengan adanya blefarokonjungtivitis atau pada orang tua, yang sering dihubungkan dengan reumatik dan debilitas.
Tukak yang terdapat biasanya di bagian perifer kornea dan biasanya terjadi akibat reaksi alergi, toksik, infeksi dan penyakit kolagen vaskular.
Ulkus marginal juga dapat terjadi bersama-sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Morazella, basil Koch Weeks atau Proteus Vulgaris. Pada beberapa keadaan, penyakit ini berhubungan dengan alergi makanan. Perjalanan penyakit ini bervariasi, dapat sembuh cepat, namun dapat pula kambuh dalam waktu singkat, dengan kemungkinan terdapatnya Streptococcus Pneumoniae, Haemophillus Aegepty pada scapping.
Infiltrat dan tukak yang terlihat diduga merupakan timbunan kompleks antigen-antibodi dan secara histopatologi terlihat sebagai ulkus atau abses yang epitelial atau subepitelial.
Konjungtivitis angular disebabkan oleh Moraxella, menghasilkan bahan-bahan proteolitik yang mengakibatkan defek pada epitel.
Gejala yang timbul berupa : visus yang menurun disertai rasa sakit, fotofobia dan lakrimasi. Terdapat pada satu mata blefarospasme, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dan dangkal. Terdapat unilateral, dapat tunggal atau multipel dan daerah jernih antara kelainan ini dengan limbus kornea, dapat terbentuk neovaskularisasi dari arah limbus.
Pengobatan : antibiotik dengan steroid lokal, dapat diberikan setelah kemungkinan infeksi HSV disingkirkan. Pemberian steroid sebaiknya diberikan dapat jangka waktu singkat dengan disertai pemberian vitamin B dan C dosis tinggi.

Ulkus Mooren
Ulkus Mooren adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi kornea, dengan bagian tepinya bergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan perforasi. Lambat laun ulkus ini akan mengenai seluruh kornea.
Merupakan tukak kornea idiopatik unilateral ataupun bilateral. Pada usia lanjut, sering disertai rasa sakit dan merah. Penyakit ini sering terdapat pada wanita usia pertengahan. Pasien terlihat sakit berat dan 25% mengalami billateral.
Tukak ini menghancurkan membran Bowman dan stroma kornea, tidak terdapat neovaskularisasi pada bagian yang sedang aktif, bila kronik akan terlihat jaringan parut dan vaskularisasi. Jarang terjadi perforasi ataupun hipopion.
Proses yang terjadi kemungkinan kematian sel yang disusul dengan pengeluaran kolagenase.
Banyak pengobatan yang dicoba, namun belum ada yang memberikan hasil yang memuaskan.

Ulkus neuroparalitik
Ulkus ini terjadi karena adanya gangguan pada nervus V atau ganglion Gaseri. Pada penyakit ini, kornea atau mata menjadi anestetik, dan reflek kedip mata hilang, sehingga benda asing pada kornea dapat bertahan lama tanpa memberikan keluhan dan kuman dapat berkembang biak tanpa dihambat daya tahan tubuh. Kemudian terjadi pengelupasan epitel dan stroma kornea, dan berkembang menjadi ulkus kornea.
Pengobatan : melindungi mata dan sering memerlukan tindakan blefarorafi.

Ulkus serpens akut
Tukak serpens atau ulkus serpenginosa akut berbentuk tukak kornea sentral yang menjalar denganbentuk khusus seperti binatang melata pada kornea. Penyakit ini berjalan cepat dan disebabkan oleh kuman pneumokok.
Penyakit ini banyak terdapat pada petani, buruh tambang, orang-orang jompo, orang dengan kesehatan yang buruk, atau pecandu alkohol dan obat bius. Biasanya didahului oleh trauma yang merusak epitel kornea sehingga mudah invasi ke dalam kornea.
Gejala : nyeri pada mata dan kelopak mata, silau, lakrimasi, dan visus menurun. Kornea terlihat keruh mulai dari sentral, dengan ciri khas ulkus yang berbatas lebih tegas pada sisi-sisi yang paling aktif disertai infiltrat yang berwarna kekuning-kuningan yang mudah pecah dan menyebabkan pembentukan tukak.
Ulkus menyebar di permukaan kornea kemudian merambat lebih dalam yang dapat diikuti dengan perforasi kornea. Ulkus ini ditandai dengan gejala khas berupa adanya hipopion yang steril yang terjadi akibat rangsangan toksin kuman pada badan siliar. Pada konjungtiva terdapat tanda-tanda peradangan yang berat berupa injeksi konjungtiva dan injeksi siliar yang berat.
Pengobatan : antibiotik spektrum luas topikal tiap jam/lebih. Dapat ditambahkan penisillin subkonjungtiva. Pada keadaan yang lanjut, dilakukan keratoplasti.
Penyulit : perforasi kornea yang berlanjut menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis.

Ulkus kornea Pseudomonas aeroginosa
Infeksi Pseudomonas aeroginosa merupakan infeksi yang paling sering terjadi dan paling berat dari infeksi kuman pathogen gram negatif pada kornea. Kuman ini mengeluarkan endotoksin dan sejumlah enzim ekstrasellular.
Diduga bahwa virulensi Pseudomonas pada kornea berhubungan erat dengan produksi intracellular calcium activated protease yang mampu membuat kerusakan serat pada stroma kornea. Dahulu zat ini diduga kolagenase, akan tetapi sekarang disebut sebagai enzim proteoglycanolytik.
Secara morfologik P. aeroginosa tidak mungkin dibedakan dengan basil enterik gram negatif.lainnya pada pemeriksaan hapus.
Pada pembiakan pseudomonas akan terdapat dua bentuk pigmen, piosianin dan fluorescein yang lebih nyata pada pengocokan tabung cairan media.
Koloni dalam agar darah akan berwarna kelabu gelap agak kehijauan. Bau manis yang tajam dikeluarkan media ini.
Lesi dimulai dari daerah sentral kemudian menyebar kesamping dan kedalam kornea.

Keratomikosis
Keratomikosis adalah suatu infek kornea oleh jamur.
Biasanya dimulai dengan suatu rudapaksa pada kornea oleh ranting pohon, daun, dan bagian tumbuh-tumbuhan. Pada masa sekarang infeksi jamur bertambah pesat dan dianggap sebagai akibat sampingan pemakaian antibiotik dan kortikosteroid yang kurang tepat.
Gejala : sakit hebat pada mata dan silau setelah 5 hari -3 minggu post trauma. Tukak terlihat menonjol di tengah kornea dan bercabang-cabang dengan endothelium plaque. Pada kornea tedapat lesi gambaran satelit dan lipatan Descemet disertai hipopion.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10%, dan biasanya ditemukan hifa. Bahkan pada agar Saboraud dilakukan dengan kerokan pada pinggir tukak kornea sesudah diberikan obat anestetikum, kemudian dibilas bersih dan dibiakkan pada suhu 37°C.
Pengobatan dengan antimikosis seperti nistatin. Bila tidak terlihat kemajuan dapat dilakukan keratoplasti. Penyulit : endoftalmitis.


Ulkus Ateromatosis
Ulkus ateromatosa adalah tukak terjadi pada jaringan parut kornea. Jaringan parut kornea atau sikatriks pada kornea sangat rentan terhadap serangan infeksi. Ulkus ateromatosis berkembang pesat ke segala arah. Pada ulkus ateromatosis sering terjadi perforasi dan diikuti panoftalmitis.
Keratoplasti merupakan tindakan yang tepat bila mata dan penglihatan masih dapat diselamatkan.

DAFTAR PUSTAKA

1.Ilyas, Sidarta, Prof. Dr, Sp M, Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004.
2.Vaughan, Daniel G, Ashbury, Taylor, Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14. 1996. Jakarta : Widya Medika
3.Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/SMF Ilmu Penyakit Mata RSU Dr. Soutomo 2006. Surabaya RSU Dr.Soetomo




Uveitis Anterior
DEFINISI
Uveitis anterior adalah proses radang yang mengenai uvea bagian anterior. Struktur uvea terdiri dari 3 bagian, yaitu iris, badan silier, dan koroid yang merupakan jaringan vaskuler di dalam mata, terletak antara retina dan sklera.
Secara anatomis uvea dapat dibedakan menjadi uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan silier, serta uvea posterior yang terdiri dari koroid
Sesuai dengan pembagian anatomisnya tersebut, maka uveitis juga dibedakan menjadi:
Uveitis anterior
Apabila mengenai iris (iritis), badan silier (siklitis), atau kedua-duanya (iridosiklitis).
Uveitis posterior
Apabila mengenai jaringan koroid (koroiditis). Sering disertai dengan retinitis, disebut korioretinitis.
Panuveitis
Apabila mengenai ketiga lokasi tersebut diatas.

ETIOLOGI
1.Berdasarkan spesifitas penyebab:
Penyebab spesifik (infeksi)
Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi,ataupun parasit yang spesifik.
Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.

2.Berdasarkan asalnya:
Eksogen
Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik.
Endogen
Dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain ataupun reaksi autoimun.

3.Berdasarkan perjalanan penyakit:
Akut
Apabila serangan terjadi satu atau dua kali, dan penderita sembuh sempurna diluar serangan tersebut.
Residif
Apabila serangan terjadi lebih dari dua kali disertai penyembuhan yang sempurna di antara serangan-serangan tersebut.
Kronis
Apabila serangan terjadi berulang kali tanpa pernah sembuh sempurna di antaranya.

4.Berdasarkan reaksi radang yang terjadi:
Non granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel plasma dan limfosit.
Granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel epiteloid dan makrofag.


PATOFISIOLOGI DAN KOMPLIKASI
Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses keradangan akut.
Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema.
Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu :


- mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-
pigmen yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis
granulomatosa.
- punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa, yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata.
Apabila keradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.

Secara garis besar, patofisiologi dan komplikasi dari uvitis anterior dapat digambarkan dengan bagan berikut:

Dilatasi pembuluh darah kecil  hiperemi perikorneal (pericorneal
vascular injection)

Permeabilitas pembuluh darah ↑

Eksudasi  iris edema, pucat, pupil reflex ↓ s/d
hilang, pupil miosis

Migrasi sel-sel radang dan fibrin ke BMD  BMD keruh, sel dan flare (+), efek
tyndal (+)

Sel radang menumpuk di BMD hipopion
(bila proses akut)

Migrasi eritrosit ke BMD  hifema
(bila proses akut)

Sel-sel radang melekat pada endotel
kornea  keratic precipitate

Sel-sel radang, fibrin, fibroblast menyebabkan
iris melekat pada kapsul lensa anterior sinekia posterior
dan pada endotel kornea  sinekia anterior

Sel-sel radang, fibrin, fibroblas menutup
pupil  seklusio pupil / oklusio pupil

Gangguan pengaliran keluar cairan mata
dan peningkatan tekanan intra okuler glaukoma sekunder

Gangguan metabolisme lensa  lensa keruh, katarak komplikata

Keradangan menyebar luas  endoftalmitis, panoftalmitis

Mengenai mata jiran  symphatetic ophtalmia

GEJALA KLINIK
Pada anamnesa penderita mengeluh:
Mata terasa ngeres seperti ada pasir.
Mata merah disertai air mata.
Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat bila telah timbul glaukoma sekunder.
Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
Blefarospasme.
Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi katarak komplikata, penglihatan akan banyak menurun.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
- Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.
- Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
- Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus,
dan keratic precipitate.
- Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau hifema bila
proses sangat akut. Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
- Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans.
Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior.
- Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat sampai negatif.
- Lensa keruh, terutama bila telah terjadi katarak komplikata.
- Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder.

Pemeriksaan laboratorium
Penderita uveitis anterior akut dengan respon yang baik terhadap pengobatan non spesifik, umumnya tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Sementara bagi penderita yang tidak responsif , diusahakan untuk menemukan diagnosis etiologinya melalui pemeriksaan laboratorium.
Pada penderita ini sebaiknya dilakukan skin test untuk pemeriksaan tuberkulosis dan toksoplasmosis. Untuk kasus-kasus yang rekurens (berulang), berat, bilateral, atau granulomatosa, perlu dilakukan tes untuk sifilis, foto Rontgen untuk mencari kemungkinan tuberkulosis atau sarkoidosis. Penderita muda dengan arthritis sebaiknya dilakukan tes ANA. Pada kasus psoriasis, uretritis, radang yang konsisten, dan gangguan pencernaan, dilakukan pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab autoimun. Pada dugaan kasus toksoplasmosis, dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang memberikan gejala menyerupai uveitis anterior antara lain konjungtivitis akut dan glaukoma akut. Adapun perbedaan dari masing-masing penyakit tersebut adalah sebagai berikut:


TERAPI
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:
Terapi non spesifik
1.Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian midriatikum.

2.Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.

3.Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
- Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
- Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
- Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes

4.Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %.
Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler :

dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik:
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid
Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid
Per oral dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

Terapi terhadap komplikasi
1.Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior, perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

2.Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif:
timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
acetazolamide 250 mg tiap 6 jam

Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
sudut tertutup: iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi.
sudut terbuka: bedah filtrasi.

3.Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis katarak serta kemampuan ahli bedah.

PROGNOSIS
Dengan pengobatan, serangan uveitis non granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan yang terbaik.

Diposkan oleh ExDeath di 03:53 0 komentar
Retinitis
Toxoplasmosis adalah suatu infeksi parasit sistemik disebabkan oleh toxoplasma gondii yang sering menyebabkan korioretinitis. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umut tetapi merupakan penyebab korioretinitis yang paling utama pada anak-anak. (1)



Terdapat 2 bentuk toxoplasmosis dari cara penularannya (2) :
1. Bentuk kongenital
Parasit mencapai fetus melalui plasenta. Biasanya ibu tidak menunjukkan tanda-tanda toxoplasmosis yang jelas. Pada anak yang menujukkan toxoplasmosis terdapat juga peninggian titer toxoplasmosmin pada ibu pda waktu infeksi inutero terhadap bayi, ibu belum mempunyai antibodi yang cukup. Bila sebelum ibu melahirkan telah mempunyai antibodi yang cukup, maka anak akan mati akibat reaksi antigen-antibodi dari ibu terhadap anaknya. Kelainan mata ditemukan biasanya bilateral.
2. Bentuk dewasa
Parasit ini ditemukan pda darah, liur, urin dan kototran binatang openjamu (host). Manusia dapat terkontaminasi dengan bahan yang mengandung parasit ini :
a. Terutama melalui jalan napas
b. Makanan yang kotor/mentah.
Walaupun penularan lebih mudah terjadi tetapi hanya 1% populasi yang terinfeksi yang menunjukkan tanda-tanda korioretinitis. Kelainan pada mata biasanya unilateral.
Kelainan sistemik yang dapat terlihat pada toxoplasmosis ialah (1) :
1. Limfadenopati
2. Erupsi eksamtematosa
3. Pneumoni
4. Meningoensefalitis
5. Hepatitis (ikterus)
6. Miokarditis.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RETINITIS
AKIBAT TOXOPLASMOSIS

A. Diagnosis
Toxoplasmosis Okuler
Toxoplasma dianggap sebagai penyebab 30-50% uveitis posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam periode Januari 1981 – Maret 1982 terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus disebabkan oleh toksoplasmosis. Selain menyebabkan uveitis, Toxoplasmosma gondii menyebabkan retinitis. Selanjutnya dapat menjadi retinokoroditis dan papilitis. Sejak kurang lebih 65 tahun yang lalu yaitu ketika sejenis protozoa yang bentuknya mirip Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan oleh Janku seorang oftalmolog Tsejechoslowakia pada jaringan mata seorang penderita toksoplasmosis kongenital, toksopmasmosis okuler sering ditemukan sebagai penyebab retinokoroiditis. Parasit ini dalam retina akan berada di lapisan yang paling atas yaitu lapisan serabut saraf retina. Parasit ini yang hidupnya intrasel dapat menetap di dalam kista untuk waktu yang lama selama viulensinya rendah dan daya tahan hospes tinggi (5).
Toksoplasmosis okuler dikenal mempunyai 2 bentuk yaitu kongenityal dan didapat. Gambaran klinik toksoplasmosis okuler antara lain :
Gejala subyektif berupa :
1. Penurunan tajam penglihatan
a. Lesi retinitis atau retinokoroiditis di daerah sentral retina yang disebut makula atau daerah antara makula dan N. optikus yang disebut papilomuskular/bundle.
b. Terkenanya nervus optikus.
c. Kekeruhan vitreus yang tebal.
d. Edema retina
2. Biasa tidak ditemukan rasa sakit, kecuali bila sudah timbul gejala lain yang menyertai yaitu iridosiklitis atau uveitis anterior yang juga disertai rasa silau. Pada keadaan ini ,mata menjadi merah.
3. “Floaters” atau melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak oleh adanya sel-sel dalam korpus vitreus.
4. Fotopsia, melihat kilatan-kilatan cahaya yang menunjukkan adanya tarikan-tarikan terhadap retina oleh vitreus.
Gejala obyektif berupa :
1. Mata tampak tenang. Pada anak-anak sering ditemukannya strabismus. Ini terjadi bila lesi toksoplasmosis kongenital terletak di daerah makula yang diperlukan untuk penglihatan tajam dan dalam keadaan normal berkembang sejak lahir sampai usia 6 tahun. Akibat adanya lesi, mata tidak dapat berfiksasi sehingga kedudukan bola mata ini berubah ke arah luar.
2. Pada pemeriksaan oftalmoskop tampak gambaran sebagai berikut :
a. Retinitis atau retinikoroiditis yang nekrotik. Lesi berupa fokus putih kekuningan yang soliter atau multipel, yang terletak terutama di polus posterior, tetapi dapat juga di bagian perifer retina.
b. Papilitis atau edema papil.
c. Kelainan vitreus atau vitritis.
Pada vitritis yang ringan akan tampak sel-sel. Sering sekali vitritis begitu berat, sehingga visualisasi fundus okuli terganggu.
d. Uveitis anterior atau iridosiklitis, dan skleritis
Gejala ini dapat mengikuti kelainan pada segmen posterior mata yang mengalami serangan berulang yang berat (5).

Toxoplasma jarang sekali meninvasi korpus vitreum karena sifatnya yang merupakan parasit intraseluler. Retina merupakan bagian yang paling sering terinfeksi dan mengalami kerusakan terparah. Pengetahuan mengenai sifat organisme maupun siklus hidupnya dapat membantu menjelaskan perjalanan penyakit dan memudahkan seorang dokter untuk menegakkan diagnosis.

Patogenesis Toxoplasmosis Okuler
Toxoplasma gondii bersifat neurotrofik dan telah ditunjukkan pada lokasinya di dalam retina mata manusia. Struktur yang berdekatan dengan koroid, sklera dan vitrues secara sekunder terlibat. Sebuah daerah granuloma dibentuk di retina, berisi zona sentraldari nekrosis dan leukosit polimorfonuklear. Sebuah zone dari sel plasma, limfosit, dan sel raksasa mengelilingi daerah nekrosis. Bentuk trofozoit dan kista dari toxoplasma biasanya mudah ditunjukkan pada retina yang terkena. Susunan retina mengalami kerusakan menyeluruh secara lokal. Keterlibatan respon radang yang hebat menyebabkan jumlah kerusakan jaringan yang layak. Debris seluler daneksudat radang dilepaskan ke dalam cavum vitreus dari retinitis aktif.

Toxoplasmosis Kongenital
Transmisi kongenital toxoplasmosis sering terjadi ketika seorang wanita terinfeksi Toxoplasma gondii sewaktu hamil. Transmisi transplasentar terjadi pada 33-24% dari kasus. Bayi yang lahir dari wanita yang mempunyai antibodi terhadap toxoplasma gondii sebelumnya tidak akan menderita toxoplasmosis kongenital. Seorang ibu yang mempunyai seorang anak yang menderita toxoplasmosis kongenital umumnya tidak akan mendapatkan anak yang terinfeksi lagi, tetapi beberapa artikel terakhir menunjukkan kemungkinan tersebut pada infeksi kronis intrauterin. Penyakit yang diderita janin umumnya lebih berat daripada ibunya. Transmisi tranplasental Toxoplasmosis gondii meningkat ketika terjadi pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, akan tetapi penyakit yang diderita oleh janin akan lebih parah ketika infeksi terjadi pada trimester pertema. (3)
Infeksi toxoplasma transplasenta menyebabkan 45% bayi menunjukkan toxoplasmosis kongenital. Sedangkan penulis lain menunjukkan angka 33-44% kejadian tersebut pada toxoplasmosis kongenital. Infeksi prenatal dapat menyebabkan kematian atau retardasi yang berat pada 15% bayi yang menderita toxoplasmosis kongenital. 19% dari toxoplasma kongenital menunjukkan gejala penyakit yang ringan bahkan tampak normal pada bayi yang terinfeksi. Bukti menunjukkan infeksi retina yang terjadi pada kasus yang ringan tidak memperlihatkan gejala sampai beberapa tahun. (7)
Toxoplasmosis kongenital cenderung bilateral (85%), sedangkan toxoplasmosis didapat unilateral. Toxoplasmosis didapat biasa dianggap sebagai aktivasi dari bentuk kongenital. Pada keadaan ini kista pecah sehingga timbul retinitis yang aktif. Toxoplasmosis didapat yang paling menyulitkan oftalmolog, karena walaupun telah diberikan pengobatan yang sesuai, penyakit ini merusak bagian vital dari retina sehingga sebagain besar penderita dengan penyakit ini menjadi buta (5).
Perkiraan infeksi intrauterin toxoplasma di Amerika Serikat berkisar antara 4.200 sa,pai 16.800 kasus per tahun. Enchepalitis toxoplasma dilaporkan pada penderita immunocompromised dan umumnya pada penderita AIDS. Toxoplasma gondii juga dilaporkan sebagai salah satu penyebab terbanyak retinokhoroiditis dan uveitis posterior, yang terjadi terutama pada dekade kedua dan ketiga kehidupan (3).
Insidens toxoplasmosis kongenital di berbagai negara adalah sebagai berikut : Belanda 6,5%, Norwegia 1%, New York 1,3%, Paris 1%. Angka pasti di Indonesia belumd iketahui namun kasus toxoplasmosis kongenital telah banyak dilaporkan. Banyaknya ibu hamil yang terinfeksi toxoplasmosis gondii dipengaruhi banyaknya faktor antara lain kebiasaan makan daging kurang matang adanya ookista di tanah sebagai sumber infeksi dan adanya kucing terutama yang dipelihara sebagai hewan kesayangan (4). Bila seorang ibu hamil mendapatkan infeksi primer maka ada kemungkinan 40% janin yang dikandung terinfeksi toxoplasmosis gondii. Akibat yang dapat terjadi adalah abortus, lahir mati, kelahiran prematur, atau bagi bayi yang dilahirkan menderita toxoplasmosis gondii (3).
Triad klasik toxoplasmosis kongenital adalah hidrosefalus, klasifikasi serebral dan koreoarefinitis. Koreoafinitis merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan dan dapat pula gejala satu-satunya. Selanjutnya pada anak yang menderita toxoplasmosis kongenital tersebut dapat terjadi kebutaan, strabismus, atau mikrophthalmia dan berbagai kelainan organ lain (4).
Manifestasi Klinik
Bila ibu hamil terinfeksi toxoplasma, dapat terjadi beberapa kemungkinan pada janin :
1. Abortus atau lahir mati
2. Bayi tidak terinfeksi
3. Bayi terinfeksi tanpa gejala klinik
4. Bayi terinfeksi tanpa gejala klinik pada mulanya, kemudian timbul gejala klinik di kemudian hari
5. Bayi terinfeksi dengan gejala subklinik.
6. Bayi terinfeksi dengan gejala sistemik.
7. Bayi terinfeksi dengan gejala neurologik dengan atau tanpa korioretinitis.
8. Bayi terinfeksi dengan gejala korioretinitis (6)
Apakah toksoplasmosis dapat menyebabkan abortus atau lahir mati masih merupakan kontroversi. Telah dilaporkan toksoplasmosis sebagai penyebab abortus habitualis atau lahir mati. Peneliti lain berpendapat bahwa kemungkinan abortus disebabkan toksoplasma sangat kecil (6).
Sebanyak 90% kasus merupakan kasus asimtomatik bila diperiksa secara biasa, tetapi bila dilakukan pemeriksaan teliti meliputi funduskopi mungkin hanya sekitar 60% kasus yang merupakan kasus asimtomatik. Satu-satunya cara pembuktian pada kasus asimtomatik adalah pemeriksaan serologi baik pada ibu maupun bayi. Diantara 5 kasus yang lahir di RSCM, sebanyak 2 kasus tidak menunjukkan gejala klinik (6).
Pada penelitian jangka panjang terhadap bayi yang semula asimtomatik ternyata timbul gejala klinik di kemudian hari. Korioretinitis dapat timbul beberapa tahun kemudian. Terjadinya tuli bilateral, mikrosefalsu dan IQ yang rendah meningkat pada ibu yang mempunyai antibodi tinggi. Rendahnya IQ dilaporkan pula pada kasus toksoplasma kongenital subklinik. Bila terdapat kasus asimtomatik tersebut diberikan pengobatan, risiko menurunnya IQ akan berkurang. Dapat terjadi pula hidrosefalus, kejang, disfungi serebralis, atau rekativasi toxoplasma serebral (6)
Toxoplasma tidak mempunyai efek teratogenik dan semua kelainan disebabkan oleh proses destruksi dan inflamasi selain efek destruksi langsung, terdapat kemungkinan bahwa kerusakan jaringan disebabkan respon imunologik jaini terhadap parasit. Munculnya korioretinitis beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian mendukung kemungkinan ini.
Manifestasi klinik dapat dibagi menjadi kasus dengan gejala neurologik dan kasus dengan gejala sistemik. Korioretinitis merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan dan dapat pula merupakan gejala satu-satunya. Lebih tepat disebut sebagai retinokoroiditis karena organisme bersarang pada retina dan mengakibatkan retinitis nekrotikans primer dengan terkenanya koroid secara sekunder. Makula merupakan daerah yang paling sering terkena dan lesi biasanya ditemukan bilateral. Lesi aktif pada mulanya berwarna kekuningan dengan batas tidak jelas tertutup eksudat. Bila terjadi kerusakan hebat, terlihat sklera yang keputihan dengan hiperpigmentasi tepi retina dan jaruingan parut gliotik. Besar lesi dapat mencapai 3-4 kali diameter diskus. Lesi dapat pula multipel atau unilateral, atau lesi mengenai makula pada satu mata dn mengenai bagian perifer retina pada mata lain (6).
Pecahnya kista pada tepi berpigmen dari jaringan parut retina menyebabkan lepasnya organisme kemudian membentuk lesi satelit kecil di sekitar lesi primer. Gangguan visus dapat berupa skotoma sampai buta total tergantung luasnya lesi. Dapat pula bermanifestasi sebagai miopia atau strabismus. Reaktivasi korioretinitis dapat terjadi setiap waktu (6).
Telah diperkirakan bahwa 11% dari anak-anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi dengan toksoplasmosis akut akan berkembang menjadi toxoplasmosis umum yang gawat, yang mungkin dapat berakibat fatal. Kebanyak dari bayi-bayi ini akan memiliki penyakit okuler bilateral dan 1,2% akan hanya memiliki penyakit okluer dengan tidak ada bukti lain dari penyakit sistemik.
Keterlibatan okuler dalam kasus kongenital adalah selalu bilateral dan tidak mudah dibedakan (dalam fase aktif) dengan toksoplasmosis okular didapat. Infeksi okular yang ganas sering menimbulkan nistgamus, katarak,membran pupilar, organisasi vitreus, dan mikrofthalmus. Beberapa bayi umumnya mempunyai penyakit susunan saraf pusat umum dan anomali berkembang lainnya.
Diagnostik Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan laboratorik yang dapat menyokong
a. Sabin dye test. Sebenarnya toksoplasma dapat terikat dengan zat warna biru metilen. Tetapi antibodi terhadap toksoplasma pada pasien toksoplasmosis dapat mencegah ikatan antara toksoplasma dengan zat warna tersebut. Nilai titer toksoplasmin ditentukan berdasarkan harga pengenceran serum penderita di mana hanya 50% toksoplasma yang dapat diwarnai oleh zat-zat warna biru metilen. Nilai yang positif hasil tes adalah peningkatan nilai titer tersebut. Nilai positif yang menyokong adalah nilai titer yang positif pada pengenceran 1/256.
2. Tes fiksasi/pengikatan komplemen
Antigen yang berasal dari selaput koriolantois yang telah diinjeksi dapat berikatan dengan serum penderita bila terdapat komplemen. Bila 1 dari tabung menunjukkan hasil yang positif maka hasil tes dianggap menyokong adanya toksoplasmosis.
3. Teknik antibodi fluoresensi indirek.
4. Tes hemaglutinasi indirek.
5. Tes kulit toksoplasmin.
Pemeriksaan lengkap bagi anak-anak :
- Foto Rontgen tengkorak di mana terlihat perkapuran.

B. Penatalaksanaan
- Pirimetamin
- Sulfadiazin
- Spiramisin
- Fotokoagulasi atau kauter krio dipakai untuk pengobatan toxoplasma

DAFTAR PUSTAKA


1. Tabbara, KF, 1987, Toksoplasmosis in Clinical Ophtalmology, Herper & Row Publisher, Philadelpia, USA.

2. Sidarta Ilyas, dkk, 2000, Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, cetakan 2, Jakarta.

3. Freitas D, Dunkel EC, 1994, Parasitic ang richettsial infection in Principle and practice of Opthalmology Basic Sciences, WB Saunders Company, Philadelphia, USA.

4. Gandahusada S, 1988, Diagnosis dan Tatalaksana Penanganan Toksoplasmosis, Seminar sehari Penyakit-penyakit manusia yang ditularkan oleh hewan piaraan, Jakarta.

5. Kadarisman, Rumita S, 1990, Gambaran Klinik Toksoplasmosis Kongenital, dalam Kumpulan Makalah Simposium Toksoplasmosis, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

6. Pusponegoro, HD., Boedjang, RF, 1990. Toksoplasmosis pada bayi dan akan dalam Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasma, Balai Penerbit FK dalam Unit, Jakarta.

7. Tesler H, 1983, Uveitis in Principle and Practice of Opthalmologi Vol. II, Universitas Book Publishing Company, Chicago, USA.

Diposkan oleh ExDeath di 03:50 0 komentar
Strabismus
Faal penglihatan yang optimal dicapai seseorang apabila benda yang dilihat oleh kedua mata dapat diterima setajam-tajamnya oleh kedua fovea, kemudian secara simultan dikirim ke susunan saraf pusat untuk diolah menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal. Faal penglihatan optimal seperti tersebut di atas, yang terjadi pada semua arah penglihatan disebut sebagai penglihatan binokular yang normal. ( 1, 2 )



Faal penglihatan yang normal dapat membedakan bentuk, warna dan intensitas cahaya. Visus yang normal dapat terjadi apabila disertai fiksasi dan proyeksi yang normal pula.
Seorang bayi yang baru lahir, hanya dapat membedakan gelap dan terang, belum ada daya fiksasi. Perkembangan fovea sentralis terbaik terdapat pada umur 3-6 bulan setelah lahir. Bila setelah berumur 6 bulan bayi masih terdapat kelainan deviasi, harus segera diberi tindakan dengan maksud untuk mendapat pembentukan visus yang baik dan juga mempertinggi kemungkinan hasil fungsional untuk melihat binokular yang baik. ( 2 )
Agar terjadi penglihatan binokular yang normal, diperlukan persyaratan utama, berupa :
1. Bayangan yang jatuh pada kedua fovea sebanding dalam ketajaman maupun ukurannya, hal ini berarti bahwa tajam penglihatan pada kedua mata tidak terlalu berbeda sesudah koreksi dan tidak terdapat aniseikonia, yang baik disebabkan karena refraksi maupun perbedaan susunan reseptor.
2. Posisi kedua mata dalam setiap arah penglihatan adalah sedemikian rupa sehingga bayangan benda yang menjadi perhatiannya akan selalu jatuh tepat pada kedua fovea. Posisi kedua mata ini adalah resultante kerjasama seluruh otot-otot ekstrinsik pergerakan bola mata.
3. Susunan saraf pusat mampu menerima rangsangan yang datang dari kedua retina dan mensintesa menjadi suatu sensasi berupa bayangan tunggal. ( 3 )
Apabila salah satu dari ketiga persyaratan tersebut di atas tidak dipenuhi, maka akan timbul keadaan penglihatan binokular yang tidak normal.
Aniseikonia yaitu suatu disparasi penglihatan berat yang menimbulkan diplopia dan perbedaan hipermetropia sebanyak dua dioptri atau lebih dapat menyebabkan gangguan faal penglihatan dalam masa perkembangan anak yang disebut sebagai Developmental Arrest.
Gangguan keseimbangan gerak bola mata akibat tonus yang tidak sama kuat antara otot-otot penggerak bola mata maupun karena kelainan yang bersifat sentral juga dapat mengakibatkan deviasi bola mata. ( 3, 4, 5 )
I. DEFINISI
STRABISMUS adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak searah. Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan bisa terjadi pada arah atau jauh penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua arah dan jarak penglihatan. ( 4, 5, 6 )

II. Etiologi
Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau sentral. Cacat sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis, palpebra, Parut Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak.
Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik. ( 4, 5 )
Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan refraksi berat atau pandangan yang lemah karena penyakit bisa berakhir pada strabismus. Ambliopia (berkurangnya ketajaman penglihatan) dapat terjadi pada strabismus, biasanya terjadi pada penekanan kortikal dari bayangan mata yang menyimpang. ( 5 )

III. DIAGNOSA STRABISMUS
Kelainan kedudukan mata dapat dibagi dalam :
- strabismus - paralitik (noncomitant) = incomitant
- nonparalitik = (comitant = concomitant)
- manifes = strabismus = heterotropia
- laten = heteroforia
- akomodatif
- non akomodatif
Seringkali heteroforia bertambah secara progresif, sehingga kelainan deviasi ini tidak dapat lagi diatasi, sehingga menjadi = strabismus.
1. STRABISMUS PARALITIKA (NONCOMITANT, INCOMITANT)

Tanda-tanda :
1. Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese. Ini dapat dilihat, bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu obyek yang digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa menggerakkan kepalanya (excurtion test). Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya ringan saja, sehingga diagnosa berdasarkan pada adanya diplopia saja. ( 4 )

2. Deviasi
Kalau mata digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh bekerja, mata yang sehat akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata berdeviasi kenasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan kearah temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal. Deviasi dari mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah berlawanan dengan arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang sakit melihat sesuatu obyek dan mata yang sehat ditutup maka mata yang sehat ini akan berdeviasi pada arah yang sesuai dengan mata yang sakit, tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Deviasi dari mata yang sehat disebut deviasi sekunder. Deviasi sekunder ini lebih besar, karena rangsangan yang kuat dibutuhkan mata yang sakit untuk melihat kearah tempat otot yang sakit bekerja. Kekuatan rangsangan yang sama didapatkan pula oleh otot yang normal sebagai pasangannya, karena itu timbul deviasi sekunder yang kuat, pada mata yang sehat (hukum Hering). ( 4, 5 )
Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang nonparalitika, dimana diviasi primer sama dengan diviasi sekunder.





Mata melihat lurus kedepan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat kekiri tak tampak esotropia. Mata melihat kekanan esotropia nyata sekali.

Parese m.rektus lateral mata kanan

Mata kiri fiksasi (mata sehat)
mata kanan ditutup (mata sakit)
deviasi mata kanan=deviasi mata primer Mata kiri yang sehat ditutup, mata kanan yang sakit fiksasi, deviasi mata kiri = deviasi sekunder, yang lebih besar dari pada deviasi primer.






3. Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata bila mata digerakkan kearah ini.
4. Ocular torticollis (head tilting)
Penderita biasanya memutar kearah kerja dari otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa strabismus paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa berkurang.
5. Proyeksi yang salah
Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi yang benar. Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu obyek yang ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan daerah disamping obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan tanggapan yang salah pada penderita. ( 3, 4 )
6. Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.
Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.
Diagnosa berdasarkan : 1. Keterbatasan gerak
2. Deviasi
3. Diplopia.
Ketiga tanda ini menjadi nyata, bila mata digerakkan kearah lapangan kerja dari otot yang sakit. Pada keadaan parese, dimana keterbatasan gerak mata tak begitu nyata adanya diplopi merupakan tanda yang penting. Cara pemeriksaannya dengan tes diplopi. Dengan cara ini dapat diketahui :
1. Pada arah mana didapat diplopia
2. Apakah diplopianya bertambah kesatu arah
3. Mata mana yang menderita.

Dengan demikian dapat diketahui mata mana dan otot mana pada mata itu yang salah.
Caranya : Penderita disuruh mengikuti gerak korek api, dengan matanya, tanpa menggerakkan kepalanya, yang digerakkan keatas, kebawah, kekanan dan kekiri, secara maksimal. Diperhatikan apakah timbul diplopia pada salah satu arah.

Umpamanya pada waktu melihat kekanan tampak diplopia. Dalam hal ini ada 2 kemungkinan :
1. Mata kiri yang tertinggal karena eksotropi mata kiri = kelumpuhan m.rektus internus
2. Mata kanan tertinggal, karena esotropia mata kanan = kelumpuhan m.rektus eksternus.
Kemungkinan

OS OD
Kiri kanan
OS OD

1. Pada eksotropia mata kiri (OS) = paralise m.rektus internus pada mata kiri
Rangsangan pada mata kanan difovea sentralis.
Pada OS, retina yang terangsang disebelah kiri fovea sentralis, jadi bayangan OS ada disebelah kanan dari bayangan OD yang melalui fovea sentralis, dilapangan penglihatan.

OD OS
Disini terdapat crossed diplopia, karena bayangan palsunya terletak berlawanan dengan mata yang berdeviasi.





2. Pada esotropia OD = paralise m.rektus eksternus mata kanan
Rangsangan pada OS tepat difovea sentralis. Pada OD, fovea sentralis ketinggalan dalam gerakan dan terangsang retinanya pada daerah sebelah kiri dari fovea sentralis. Jadi bayangannya dilapangan penglihatan terletak disebelah kanan bayangan OS yang melalui fovea sentralis.

Disini diplopianya OS OD, disebut juga homonymous diplopia, karena bayangan palsunya terletak pada sisi yang sama dengan mata yang berdeviasi.
Dengan menutup salah satu mata, setelah terlihat diplopia, dapatlah diketahui kedudukan bayangan dari diplopia itu, karena bayangan yang hilang menunjukkan kedudukan bayangan mata itu. Umpamanya bayangan yang sebelah kiri yang hilang, bila mata kanan yang ditutup, maka bayangan yang sebelah kiri adalah bayangan dari mata kanan. ( 4 )

Pengukuran derajat deviasinya dengan tes Hirschberg, tes Krimski, tes Maddox cross.
Penderita strabismus paralitika sebaiknya dirujuk dahulu dengan seorang ahli saraf, sebelum diberikan pengobatan pada matanya, untuk menentukan da mengobati penyebabnya, yang seringkali merupakan keadaan yang gawat seperti tumor diotak. Kalau dari fihak bagian saraf sudah dianggap tengan barulah matanya diberi pengobatan.
Kelumpuhan otot dapat mengenai satu otot, biasanya m.rektus lateralis, m.obliqus superior atau salah satu otot yang diurus oleh N.III. Dapat juga mengenai beberapa otot yang diurus oleh N.III.

ESOTROPIA PARALITIKUS = ABDUSEN PALCY = NONCOMITANT ESOTROPIA
Sering terdapat pada orang dewasa yang mendapat trauma dikepala, tumor atau peradangan dari susunan saraf serebral. Jarang ditemukan pada anak-anak, yang biasanya disebabkan trauma pada waktu lahir, kelainan kongenital dari m.rektus lateralis atau persarafannya.

Tanda-tandanya :
- gangguan pergerakan mata kearah luar
- diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah luar
- kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh
- deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan dengan otot yang lumpuh
- pada anak dibawah 6 tahun, dimana pola sensorisnya belum tetap, timbul supresi, sehingga tidak timbul diplopia
- pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong, penderita mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan bayangan dari obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina dikedua mata yang tidak bersesuaian (corresponderend). ( 4, 5 )

Pengobatan :
Penderita diobati dahulu secara nonoperatif selama 6 bulan, menurut kausanya, kalau dapat dengan kerjasama beserta seorang ahli saraf. Bila terdapat diplopia, mata yang sakit ditutup untuk menghilangkan diplopia dan segala akibatnya. Adapula yang menutup mata yang sehat untuk menghilangkan diplopianya.
Baik pada anak ataupun dewasa, bila setelah 6 bulan pengobatan belum ada perbaikan, baru dilakukan operasi, yaitu reseksi dari m.rektus lateralis atau reseksi dari m.rektus medialis, sebab bila dibiarkan terlalu lama dapat terjadi atrofi dari otot.

KELUMPUHAN DARI N.III (N. OKULOMOTORIUS)
Pada kelumpuhan total dari saraf ini didapatkan :
- ptosis.
- bola mata hampir tak dapat bergerak. Keterbatasan bergerak kearah atas, kenasal dan sedikit kearah bawah.
- mata berdeviasi ketemporal, sedikit kebawah. Kepala berputar kearah bahu pada sisi otot yang lumpuh.
- sedikit eksoftalmus, akibat paralise dari 3 mm rekti yang dalam keadaan normal mendorong mata kebelakang.
- pupil midriasis, reaksi cahaya negatif, akomodasi lumpuh.
- ada crossed diplopia.
Hal tersebut terjadi oleh karena N.III mengurusi :
M.rektus superior, m.rektus medialis, m.rektus lateralis, m.obliqus inferior, m. sfingter pupil, mm.siliaris. bila ini semua lumpuh tinggal m.rektus lateralis, m.obliqus superior yang bekerja, karena itu mata berdeviasi kearah temporal sedikit kearah bawah dan intorsi (berputar kearah nasal). Pupil lebar tak ada akomodasi.
Kelumpuhan N.III sering tak sempurna hanya mengenai 2-3 otot saja. Dapat disertai dengan kelumpuhan dari otot-otot lain. Bila terdapat kelumpuhan dari semua otot-otot, termasuk otot iris dan badan siliar, disebut oftalmoplegia totalis. Kalau hanya terdapat kelumpuhan dari otot-otot mata luar, disebut oftalmoplegia eksterna, yang ini lebih sering terjadi. Kelumpuhan yang terbatas pada m.sfingter pupil dan badan siliar, disebut oftalmoplegia interna. Hal ini sering dijumpai misalnya pada :
- pemakaian midriatika, sikloplegia, waktu mengadakan pemeriksaan fundus atau refraksi
- kontusio bulbi
- akibat lues, difteri, diabetes, penyakit serebral.
Dalam hal ini kita dapatkan pupil lebar, tak ada akomodasi. Pada oftalmoplegia interna, diobati menurut penyebabnya dan lokal diberikan pilokarpin atau eserin. Kalau akomodasinya tetap hilang, beri pula kacamata sferis (+) 3 D untuk pekerjaan dekat.

Penyebabnya :
Kelainannya dapat terjadi pada setiap tempat dari korteks serebri keotot. Macam kelainan dapat eksudat, perdarahan, periostitis, tumor, trauma, perubahan pembuluh darah yang menyebabkan penekanan atau peradangan pada saraf. Jarang-jarang disebabkan peradangan atau degenerasi primer. Pada umumnya disebabkan oleh lues yang dapat menyebabkan tabes, ensefalitis. Infeksi akut (difteri, influenza), keracunan (alkohol), diabetes mellitus, penyakit-penyakit sinus, trauma, sebagai penyebab yang lainnya. Terjadinya bisa sekonyong-konyong ataupun perlahan-lahan, tetapi perjalanan penyakitnya selalu menahun. Kekambuhan sering terjadi. Kalau telah terjadi lama, prognosis tidak menguntungkan lagi, karena kemungkinan terjadinya atrofi dari otot-otot yang lumpuh dan kontraksi dari otot lawannya. ( 4 )

Pengobatan :
Untuk menghindari diplopia, mata yang sakit ditutup. Ada pula yang menutup mata yang sehat.
Kalau setelah pengobatan kira-kira 6 bulan tetap lumpuh, dilakukan operasi reseksi dari otot yang lumpuh disertai resesi dari otot lawannya. Supaya tidak terjadi atrofi dari otot yang lumpuh. Hasil dari operasi ini sering mengecewakan, tetapi perbaikan kosmetis mungkin dapat memuaskan.

Kelumpuhan m.rektus medialis :
Menyebabkan strabismus divergens, gangguan gerak kearah nasal, cross diplopi. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah nasal (aduksi). Kepala dimiringkan kearah otot yang sakit.


Kelumpuhan m.rektus superior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, hipotropia, diplopia campuran (diplopi vertikal dan crossed diplopia). Bayangan dari mata yang sakit terdapat diatas bayangan mata yang sehat. Kelainan bertambah pada gerakan mata keatas.

Kelumpuhan m.rektus inferior :
Terdapat keterbatasan gerak mata kebawah, hipertropia, diplopi campuran, crossed, yang bertambah hebat bila mata digerakkan kebawah. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih rendah.

Kelumpuhan m.obliqus superior :
Terdapat keterbatasan gerak kearah bawah terutama nasal inferior, strabismus yang vertikal, diplopia campuran, terutama vertikal dan homonim yang bertambah hebat bila mata digerakkan kearah nasal inferior. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih rendah. ( 4, 5 )

Kelumpuhan m.obliqus inferior :
Terdapat keterbatasan gerak keatas, terutama atas nasal, strabismus vertikal, diplopia campuran, homonim. Kelainan ini bertambah bila mata digerakkan kearah temporal atas. Bayangan dari mata yang sakit terletak lebih tinggi.

2. STRABISMUS NONPARALITIK

Disini kekuatan duksi dari semua otot normal dan mata yang berdeviasi mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat). Mata yang ditujukan pada obyek disebut fixing eye, sedang mata yang berdeviasi disebut squinting eye.
Dibedakan strabismus nonparalitika - nonakomodatif.
- akomodatif – berhubungan dengan kelainan refraksi.
STRABISMUS NONPARALITIK NONAKOMODATIF :
Deviasinya telah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama kesemua arah dan tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Karena itu penyebabnya tak ada hubungannya dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot-otot. Mungkin disebabkan oleh : ( 1, 4 )
Insersi yang salah dari otot-otot yang bekerja horizontal

Gangguan keseimbangan gerak bola mata, dapat terjadi karena gangguan yang bersifat sentral, berupa kelainan kwantitas rangsangan pada otot. Hal ini disebabkan kesalahan persarafan terutama dari perjalanan supranuklear, yang mengelola konvergensi dan divergensi. Kelainan ini dapat menimbulkan proporsi yang tidak baik antara kekuatan konvergensi dan divergensi. Untuk melakukan konvergensi dari kedua mata, harus ada kontraksi yang sama dan serentak dari kedua m.rektus internus, sehingga terjadi gerakan yang sama dan simultan dari mata ke nasal. Divergensi dan konvergensi adalah bertentangan, overaction dari yang satu menyebabkan kelemahan dari yang lain dan sebaliknya. Rangsangan sentral yang berlebihan untuk konvergensi, menyebabkan kedudukan bola mata yang normal untuk penglihatan jauh (divergensi) sedang menjadi strabismus konvergens untuk penglihatan dekat (konvergensi).
Dibedakan :
1. Kelebihan konvergensi : (convergence excess)
pada penglihatan jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus konvergens.
2. Kelebihan divergensi (divergence exess) :
pada penglihatan dekat normal. pada penglihatan jauh timbul strabismus divergens.
3. Kelemahan konvergensi : (convergence insufficiency) : pada penglihatan jauh normal, pada penglihatan dekat timbul strabismus divergens.
4. Kelemahan divergensi (divergence insufficiency) : pada penglihatan dekat normal, pada penglihatan jauh timbul strabismus konvergens.

Kekurangan daya fusi :
Kelainan daya fusi kongenital sering didapatkan. Daya fusi ini berkembang sejak kecil dan selesai pada umur 6 tahun. Ini penting untukk penglihatan binokuler tunggal yang menyebabkan mata melihat lurus. Tetapi bila daya fusi ini terganggu secara kongenital atau terjadi gangguan koordinasi motorisnya, maka akan menyebabkan strabismus.

Pada kasus yang idiopatis,
Kesalahan mungkin terletak pada dasar genetik. Eksotropik dan esotropia sering merupakan keturunan autosomal dominan. Kadang-kadang pada anak dengan esotropia, didapatkan orang tuanya dengan esoforia yang hebat.
Tidak jarang strabismus nonakomodatif tertutup oleh faktor akomodatif, sehingga bila kelainan refraksinya dikoreksi, strabismusnya hanya diperbaiki sebagian saja.

Tanda-tanda :
1. Kelainan kosmetik, sehingga pada anak-anak yang lebih besar merupakan beban mental.
2. Tak terdapat tanda-tanda astenopia.
3. Tak ada hubungan dengan kelainan refraksi.
4. Tak ada diplopia, karena terdapat supresi dari bayangan pada mata yang berdeviasi.
Pada strabismus yang monokuler, karena supresi dapat terjadi ambliopia ex anopsia. Bila deviasinya mulai pada umur muda dan sudut deviasinya besar, maka bayangan dimakula yang terdapat pada mata yang fiksasi (fixing eye) terdapat didaerah diluar makula pada mata yang berdeviasi (squiting eye). Jadi terdapat abnormal retinal correspondence (binocular fals projection). Pengukuran derajat deviasinya dilakukan dengan : tes Hisrchberg, tes Krimsky, tes Maddox cross. Pemeriksaan kekuatan duksi untuk mengukur kekuatan otot. ( 3, 4, 5 )


Pengobatan :
1. Preoperatif
2. Operatif

Ad. 1. Preoperatif :
Pengobatan yang paling ideal pada setiap strabismus adalah bila tercapai hasil fungsionil yang baik, yaitu penglihatan binokuler yang normal dengan stereopsis, disamping perbaikan kosmetik. Hal ini sukar dicapai karena tergantung dari pada :
1. lamanya strabismus.
2. umur anak pada waktu diperiksa.
3. sikap orang tuanya.
4. kelainan refraksi.
Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis saja.
Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan dengan :
1. Menutup mata yang normal (terapi oklusi = patching).
Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai matanya yang berdeviasi. Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan perbaikan dalam 4-10 minggu. Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada pola sensorisnya retina, tetapi tidak mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi penutupan sudah dimulai sejak usia 6 bulan, untuk hindarkan timbulnya ambliopia. Pada anak berumur dibawah 5 tahun dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu bulan, sehingga mata ini tak dipakai kira-kira 2 minggu. Ada pula yang menetesinya setiap hari dengan homatropin sehingga mata ini beberapa jam sehari tak dipakai. Sedang pada anak-anak yang lebih besar, dilakukan penutupan matanya 2-4 jam sehari. Penetesan atau penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena takut menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat ini.
2. Pengobatan dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun), harus dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan binokuler yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan, kira-kira 1 tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi.
Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5 tahun, supaya bila masih ada strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu dengan latihan.
Prinsip operasinya : - reseksi dari otot yang terlalu kuat
- reseksi dari otot yang terlalu lemah. ( 4 )

ESOTROPIA NONAKOMODATIVA,
Meliputi lebih dari setengahnya strabismus nonparalitika. Deviasinya sudah timbul pada waktu lahir atau pada tahun-tahun pertama. Deviasinya sama kesemua arah dan tak terpengaruhi oleh akomodasi, tak ada hubungan dengan kelainan refraksi atau kelumpuhan otot.
Penyebabnya mungkin insersi yang salah dari otot bekerja horizontal, kelainan persarafan supranuklear atau kelainan genetis. ( 4, 5 )
Pengobatan :
Terapi penutupan secepat mungkin, disamping latihan ortoptik, sebelum dilakukan tindakan operatif ;
a. resesi dari m.rektus medialis
b. reseksi dari m.rektus lateralis.

STRABISMUS NONPARALITIKA AKOMODATIVA :
Gangguan keseimbangan konvergensi dan divergensi dapat juga berdasarkan akomodasi, jadi berhubungan dengan kelainan refraksi.
Dapat berupa : - strabismus konvergens (esotropia)
- strabismus divergens (eksotropia).
Pemeriksaan yang dilakukan :
Pemeriksaan refraksi harus dilakukan dengan sikloplegia, untuk menghilangkan pengaruh dari akomodasi.
Caranya : - Pada anak-anak dengan pemberian sulfas atropin 1 tetes sehari, tiga hari berturut-turut, diperiksa pada hari keempat.
- Pada orang dewasa diteteskan homatropin 1 tetes setiap 15 menit, tiga kali berturut-turut, diperiksa 1 jam setelah tetes terakhir.
Pengukuran derajat deviasi dengan tes Hirschberg, tes Krismky, tes Maddox cross. ( 2, 3, 4 )
Pemeriksaan kekuatan duksi, untuk mengukur kekuatan otot yang bergerak pada arah horizontal (adduksi = m.rektus medialis; abduksi = m.rektus lateralis).

Pengobatan :
1. koreksi dari kelainan refraksi, dengan sikloplegia.
2. hindari ambliopia dengan penetesan atropin atau penutupan pada mata yang sehat.
3. meluruskan aksis visualis dengan operasi (mata menjadi ortofori).
4. memperbaiki penglihatan binokuler dengan latihan ortoptik.

STRABISMUS KONVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF (KONKOMITAN AKOMODATIF)
Dinamakan juga esotropia, dimana mata berdeviasi kearah nasal. Kelainan ini berhubungan dengan hipermetropia atau hipermetropia yang disertai astigmat. Tampak pada umur muda, antara 1-4 tahun, dimana anak mulai mempergunakan akomodasinya untuk melihat benda-benda dekat seperti mainan atau gambar-gambar. Mula-mula timbul periodik, pada waktu penglihatan dekat atau bila keadaan umumnya terganggu, kemudian menjadi tetap, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat.
Kadang-kadang dapat menghilang pada usia pubertas. Anak yang hipermetrop, mempergunakan akomodasi pada waktu penglihatan jauh, pada penglihatan dekat akomodasi yang dibutuhkan lebih banyak lagi. Akomodasi dan konvergensi erat hubungannya, dengan penambahan akomodasi konvergensinyapun bertambah pula. Pada anak dengan hipermetrop ini, mulai terlihat esoforia periodik pada penglihatan dekat, disebabkan rangsangan berlebihan untuk konvergensi. Lambat laun kelainan deviasi ini bertambah sampai fiksasi binokuler untuk penglihatan dekat tak dapat dipertahankan lagi, dan terjadilah strabismus konvergens untuk dekat. Kemudian terjadi pula esotropia pada penglihatan jauh.


Pengobatan :
1. Koreksi refraksi dengan sikloplegia. Harus diberikan koreksi dari hipermetropia totalis, dan kacamata dipakai terus-menerus. Karena terdapat akomodasi yang berlebihan, juga dapat diberikan kacamata untuk dekat meskipun belum usia presbiopia, untuk mengurangi akomodasinya. Jadi diberikan kacamata bifokal.
2. Mata yang sehat ditutup atau ditetesi atropin untuk memperbaiki visus pada mata yang sakit, 1 tetes 1 bulan 1 kali dapat juga dengan homatropin setiap hari atau penutupan mata yang sehat. Kacamata harus diperiksa berulang kali, karena mungkin terdapat perubahan, sampai kelainan refraksinya tetap.
3. Latihan ortoptik harus dilakukan bersamaan dengan perbaikan koreksi untuk memperbaiki pola sensorik dari retina, sehingga memperbesar kemungkinan untuk dapat melihat binokuler.
4. Kalau setelah tindakan diatas esotropianya masih ada, dan kelainan deviasinya tidak begitu besar, dapat diberikan koreksi dengan prisma, basis temporal.
5. Bila semua tindakan tidak menghilangkan kelainan deviasinya, maka dilakukan operasi, untuk meluruskan matanya.
6. Setelah operasi, diteruskan latihan ortoptik untuk memperbaiki penglihatan binokuler. Pada esotropia untuk jarak jauh, dilakukan reseksi m.rektus eksternus, (otot yang lemah). Pada esotropi jarak dekat, perlu resesi m.rektus internus (otot yang kuat). Untuk esotropi yang hebat, lebih dari 30 derajat, terjadi jauh dekat, dilakukan operasi kombinasi. ( 4 )

STRABISMUS DIVERGENS NONPARALITIK AKOMODATIF (EKSOTROPI KONKOMITAN AKOMODATIF)
Mata berdeviasi kearah temporal. Hubungannya dengan miopia. Sering juga didapat, bila satu mata kehilangan penglihatannya sedang mata yang lain penglihatannya tetap baik, sehingga rangsangan untuk konvergensi tak ada, maka mata yang sakit berdeviasi keluar.
Strabismus divergens biasanya mulai timbul pada waktu masa remaja atau dewasa muda. Lebih jarang terjadi.
Dapat dimulai dengan : 1. Kelebihan divergensi
2. Kelemahan konvergensi.
Pada miopia mulai dengan kelemahan akomodasi pada jarak dekat, orang miop hanya sedikit atau tidak memerlukan akomodasi, sehingga menimbulkan kelemahan konvergensi dan timbullah kelainan eksotropia untuk penglihatan dekat sedang untuk penglihatan jauhnya normal. tetapi pada keadaan yang lebih lanjut, timbul juga eksotropia pada jarak jauh. Bila penyebabnya divergens yang berlebihan, yang biasanya merupakan kelainan primer, mulai tampak sebagai eksotropia untuk jarak jauh. Tetapi lama kelamaan kekuatan konvergensi melemah, sehingga menjadi kelainan yang menetap, baik untuk jauh maupun dekat.

Pengobatan :
1. Koreksi penuh dari miopinya, ditambah overkoreksi 0,5-0,75 dioptri untuk memaksa mata itu berakomodasi, kacamata ini harus dipakai terus-menerus.
2. Latihan ortoptik, untuk memperbaiki penglihatan binokuler, disamping terapi oklusi.
3. Operasi, bila cara yang terdahulu tak memberikan pengobatan yang memuaskan.
Pada eksotropia hanya untuk jarak jauh, dilakukan dari m.rektus lateralis, sedang pada kelemahan dari daya konvergensi, yang timbulkan eksotropia pada jarak dekat dilakukan reseksi dari m.rektus medialis. Untuk eksotropia yang menetap untuk jauh dan dekat, dilakukan operasi kombinasi. Bila kelainan deviasinya tak begitu besar, dapat dicoba dulu dengan kacamata prisma basis nasal.
Pada bayi dan anak kecil ada kecenderungan konvergensi yang berlebihan, yang dipengaruhi oleh persarafan supranuklear. Kecenderungan untuk berdivergensi menjadi lebih besar dengan bertambahnya umur. Karena itu, bila tidak ada daya untuk berfusi, seperti pada mata yang buta atau mata dengan visus yang sangat menurun, maka mata ini akan berdeviasi kenasal pada anak-anak sampai umur 6 tahun dan pada orang-orang yang lebih dari 6 tahun usianya akan berdeviasi kearah temporal. ( 4 )

DAFTAR PUSTAKA

1. Radjamin. T, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia, Airlangga University Press, 121-126.

2. Ilyas S, 1998, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 233-265.

3. Ilyas S, 2000, Strabismus, dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 181-194.

4. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta, 282-311.

5. Voughan D, Asbury T, 1996, Strabismus, dalam Oftalmologi Umum, edisi II, Jilid 1, Widya Medika, Jakarta, 237-263.

6. Glasspool. MG, 1994, Strabismus, dalam Atlas Berwarna Oftalmologi, Widya Medika, Jakarta, 91-96.
Diposkan oleh ExDeath di 03:47 0 komentar
Sabtu, 2008 Februari 16
Akrodermatitis
Akrodermatitis ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata acro yang berarti ekstremitas dan dermatitis yang mempunyai arti peradangan pada kulit(4). Sehingga dapat ditarik suatu pengertian secara bahasa yakni peradangan kulit yang terdapat pada ektremitas.

Akrodermatitis pertama kali ditemukan pada tahun 1955 di Italia oleh Gianotti yang dikaitkan dengan infeksi virus Hepatitis B(5). Beberapa waktu kemudian dikemukakan bahwa banyak virus maupun bakteri lain yang dapat menyebabkan akrodermatitis seperti Coxsackie virus, Parainfluensa virus, Enterovirus, Respiratory Syncytial virus, group A Beta Hemolytic Streptococcus dan lainnya(3).
Sinonim dari acrodermatitis ialah acrodermatitis infatile lichenoid, acrodermatitis papular infatile, Gianotti crosti sindrom, papular acrodermatitis of childhood, papulovesicular acro located syndrom(1).
Sedangkan secara klinis akrodermatitis dijelaskan sebagai suatu kelainan kulit pada anak yang disertai dengan gejala ringan berupa panas dan malaise, yang dikaitkan dengan adanya infeksi virus hepatitis B ataupun infeksi virus lainnya. Pada kelainan ini biasanya lesinya simetrik, papul berwarna merah tembaga berbentuk datar, berkilat, berbentuk garis linear(1).
Akrodermatitis dapat mengenai semua suku bangsa, perbandingan wanita dan laki laki sama(2). Sedang faktor usia sering terjadi pada anak anak, menurut Albert sering pada usia antara 3 bulan sampai 7 tahun. Dan menurut Timolty antara umur 1 sampai 6 tahun.
1. Definisi.
Akrodermatitis adalah suatu kelainan kulit yang tidak berbahaya yang disertai gejala demam dan malaise, yang terkait dengan suatu infeksi virus maupun bakteri. Yang tersering terinfeksi virus Hepatitis B(1).
2. Epidemiologi.
Akrodermatitis merupakan penyakit yang jarang ditemukan, tersering menyerang pada usia anak anak, dimulai sejak usia 3 bulan sampai 7 tahun yang rata rata berkisar pada usia 2 tahun. Akrodermatitis tidak ditemukan pada usia dewasa. Untuk jenis kelamin tidak dibedakan, baik pada wanita maupun laki laki perbandingannya sama. Begitu pula dengan suku bangsa tidak dapat dibedakan semua dapat terkena(7).
Di Amerika Serikat kasus akrodermatitis insidensinya tidak diketahui secara pasti hal ini dimungkinkan karena kasusnya sangat jarang dan tidak berbahaya(2).
Di Italia dilaporkan bahwa insiden akrodermatitis sejak tahun 1955 sampai 1989 sekitar 308 pasien. Dan penyakit ini menyebar di Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Jepang(5).
Di Indonesia sendiri belum ada data yang pasti tentang insiden akrodermatitis selama ini.

3. Etiologi.
Pada mulanya akrodermatitis diduga karena infeksi virus hepatitis B, tetapi sekarang telah disepakati penyebab akrodermatitis bermacam macam. Hal ini terbukti di negara Jepang, Italia penyebabnya virus hepatitis, sedangkan di Amerika Serikat penyebab tersering Ebstein Barr Virus(3).
Beberapa penyebab akrodermatitis dikelompokkan sebagai berikut(5) :
a. Infeksi virus.
• Hepatitis A, B, dan C
• Rotavirus
• Ebstein Barr virus
• Rubella virus
• Cytomegalovirus
• Coxsackieviruses A16, B4 dan B5
• Adenovirus
• Enterovirus
• Respiratory syncytial virus
• Virus parainfluenza
• Parvovirus B19

b. Infeksi bakteri.
• Group β hemolitik streptococcus
• Mycobacterium avium intracelullar.
c. Imunitas.
• Polio
• Difteria
• Influenza
• Pertusis

4. Patofisiologi.
Timbulnya exanthem atau demam yang disertai gejala erupsi kulit karena adanya reaksi hipersensitif tipe IV. Dimana terjadi akibat limfosit yang tersensitivitasi mengadakan reaksi dengan antigen virus atau bakteri yang berlokasi disekitar pembuluh darah dermis, kemudian terjadi interaksi antigen antibodi (immunohistochemical) yang mengakibatkan pelepasan bermacam macam limfokin sehingga terjadi peradangan pada kulit(5).
Sedangkan pada pemeriksaan imunofluoresensi direct pada kulit hasilnya selalu negatif.



5. Manifestasi Klinik.
Pasien datang dengan keluhan adanya ruam atau exanthem yang timbul secara akut dengan disertai adanya tanda tanda infeksi, demam dan malaise. Ruam biasanya timbul 2-4 minggu atau bisa juga selama 4 bulan, tidak gatal, kecuali bila ruam lebih dari 3 minggu(2).
Ruam berupa papul papul merah kecoklatan atau seperti merah tembaga yang distribusinya simetrik ,diskret ataupun membentuk garis linear. Biasanya tempat prediksinya paling sering pada ektremitas, wajah, dan pantat tetapi dapat juga pada telapak tangan dan telapak kaki walaupun sangat jarang. Gejala lainya dapat terjadi pembesaran abdomen, hal ini karena liver dan lien yang membesar(8).

6. Pemeriksaan Fisik.
• Pada kulit tampak adanya papul papul yang berwarna merah kecoklatan atau seperti merah tembaga dengan ukuran 2-5mm, datar dan berkilat tidak gatal,dan distribusinya simetrik, diskret (terpisah satu dengan lain) atau membentuk garis linear(6),
• Daerah predileksi : wajah, ektremitas (tangan, kaki) bagian ektensor, pantat. Kadang kadang dapat mengenai telapak tangan dan telapak kaki(1).
• Jika akibat infeksi virus Hepatitis dapat ditemukan anicterik adanya hepatosplenomegali, limfadenopati.
• Jika penyebabnya streptococcus pada sistem respirasi atas dapat dijumpai adanya lesi di mukosa, pembengkakan pada tonsil dan pharing merah(6). Sedang untuk penyebab lain belum diterangkan secara terperinci.

7. Pemeriksaan Penunjang.
Laboratorium.
• Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan lymphosytosis dan monositosis.
• Sedang pada kasus yang etiologinya virus hepatitis pada pemeriksaan faal hati didapatkan adanya peningkatan enzim transaminase dan ditemukannya antibody antivirus (AntiHBsAg).
• Untuk mengetahui etiologi yang lain dapat dilakukan pemeriksaan:
Untuk Ebstein Barr Virus dapat dilakukan IgM dan IgG titer
Untuk Respiratoric Syncytial Virus dilakukan test fluorescent antibody
Enterovirus dapat dilakukan dengan kultur atau polimerasi chain reaktive
Group beta hemolitik streptococcus dapat dilakukan kultur.


Histopatologi.
Pada biopsi kulit pada epidermis diperoleh spongiosis fokal, parakeratosis dan acantholisis ringan. Pada dermis disekitar vaskular terdapat infiltrat lymphosit dan histiosit.

8. Diagnosa Banding.
Akrodermatitis dapat dibedakan dengan penyakit lain yang mempunyai ujud kelainan kulit yang serupa yakni(2) :
• Dermatitis kontak iritan
• Drug Eruption
• Lichen Nitidus
• Lichen Planus
• Pityriasis lichenoidis
• Pityriasis rosea
• Sarcoidis
• Scabies
• Histiositosis sel langerhans
• Erytema Multiforme
• Insect Bite
• Moluscum Contangiosum
Pada diagnosa diferential diatas yang membedakan dengan acrodermatitis yakni dari segi etiologi, distribusi dan tempat predileksi.


9. Terapi.
Sebenarnya tidak ada terapi khusus untuk acrodermatitis, penanganannya hanya bersifat symtomatik.
• Dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti Triamcinolone 0,1% cream. Efektivitasnya terhadap antipruritus hanya minimal, tetapi untuk inflamasi efektivitasnya sangat maksimal. Obat ini kerjanya menekan penyebaran leukosit polimorphonuklear dan mengembalikan permeabiltas kapiler pembuluh darah.
• Pemberian antihistamin seperti Hidroxyzine memberi hasil yang sangat memuaskan sebagai anti pruritus. Sifat dari obat ini adalah reseptor antagonis H1 pada perifer dan dapat menekan aktivitas histamin pada subcortical pada sistem syaraf pusat.
• Untuk pasien dengan etiologinya yang diketahui dapat dikonsulkan juga pada ahlinya seperti dengan infeksi virus hepatitis maka dapat dikonsultasikan pada dokter specialis gastroenterology anak.
• Sedang untuk memantau perkembangan penyakitnya (follow up) dapat dilakukan setelah 2 bulan pengobatan untuk mengetahui adanya perbaikan dari lesinya, sedang untuk penyakit yang mendasarinya follow up diperlukan untuk memantau kadar transaminase yang semula tinggi sampai diharapkan mencapai normal.

10. Komplikasi.
Sejauh ini belum ada komplikasi yang nyata pada kelainan kulitnya, tetapi untuk komplikasi penyakit yang mendasarinya dapat berupa penyakit liver yang kronis(7).

11. Prognosis
Prognosis dari akrodermatitis biasanya baik, karena kelainan ini tidak berbahaya dan dapat sembuh sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, Acrodermatitis definition, April, 2003, htt :// www.unair.com//.
2. Albert G.Y. , Gianotti –Crosti Syndrome (Papular Acrodermatitis of Chillhood, Desember, 2002, http :// www.medicine.com //.
3. Cristopher J.R , Acrodermatitis Overview, Cause and Risk Factors, Oktober, 2002, htt :// www.raredisease.org //
4. Dorland, Medical Dictionary, 1996, htt :// www.yahoo.com //
5. Howard P., Gianotti Crosti Syndrome, journal American Academy of Dermatology, March, 2003, http :// www.aad.org //
6. Lehree M, Acrodermatitis Symptoms and Sign, University of Pennsylvania Medical Center, January, 2002, Philadelphia, htt: // www.urac.org //
7. Timothy G.W. , Eleana E.S , Acrodermatitis, November, 2001, htt :// www.google.com //.
8. Wagner A. , Gianotti Crosti and Frictional lichenoid dermatitis, 1999, htt :// www.dermatology.com //
Diposkan oleh ExDeath di 03:17 0 komentar
Dermatitis
Dermatitis merupakan epidermo-dermatitis dengan gejala subyektif pruritus. Obyektif tampak inflamasi eritema, vesikula, eksudasi, dan pembentukan sisik. Tanda-tanda polimorfik tersebut tidak selalu timbul pada saat yang sama. Penyakit bertendensi residif dan menjadi kronis.

Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian besar merupakan respon kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri, dan fungus. Respons tersebut dapat berhubungan dengan alergi. Alergi iala perubahan kemampuan tubuh yang didapat dan spesifik untuk bereaksi.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi karena pajanan ulang pada kulit secara langsung dengan substansi alergenik, dan mekanisme yang mendasari proses terjadinya DKA termasuk reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)
DERMATITIS
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, linefikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Sinonim dermatitis adalah eksem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan eksem, tetapi pada umumnya menganggap sama.
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia, fisik (contoh : sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui pasti.
Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama yang penyebabnya fakktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan primer.
Pada umumnya penderita dermatitismengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula tidak tegas, penyebarannya dapat setempat, generalisata, bahkan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (medidans). Stadium subakut, eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh : dermatitis kontak, radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh : dermatitis papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis medidasns, dermatitis eksfoliativa), bentuk (contoh : dermatitis numularis), lokalisasi (contoh : dermatitis interdigitalis, dermatitis intertriginosa, dermatitis manus, dermatitis generalisata), dan ada pula yang berdasarkan lama atau stadium penyakit (contoh : dermatitis akut, dermatitis subakut, dermatitis kronis)>
Perubahan histopatologi dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung pada stadiumnya.
Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa vesikel atau bula, spongiosis, edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel mononuklear. Dermis sembab, pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan terutama sel mononuklear; eosinofil kadang ditemukan, bergantung pada penyebab dermatitis.
Kelainan pada stadium subakut hampir seperti stadium akut, jumlah vesikel di epidermis berkurang, spongiosis masih jelas, epidermis tertutup krusta, dan parakeratosis; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas, demikian pula sebukan sel radang.
Epidermis pada stadium kronis, hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, rete ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan; vesikel tidak ada lagi. Papila dermis memanjang (papilamatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis terutama di bagian atas bersebukan sel radang mononuklear, jumlah fibroblas dan kolagen bertambah.
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang juga tidak diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan menghilangkan/mengurangi keluhan dan menekan peradangan.
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin, atau antihistamin dikombinasi dengan antiserotonin, antibradikinin, anti-SRA, dan sebagainya. Pada kasus akut dan berat dapat diberi kortikosteroid.
Prinsip umum terapi topikal diuraikan di bawah ini:
1. Dermatitis akut/basah (medidans) harus diobati secara basah (kompres terbuka). Bila subakut, diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum (pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta pada daerah yang tidak berambut. Bila kronik, diberi salap.
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.

II. 2. DERMATITIS KONTAK IRITAN
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin.
Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat.
ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, kohikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu : lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang) adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian juga gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah umur 8 tahun lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan dari pada kulit putih); jenis kelamin (insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik.


PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan irisan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Keadan ini akan merusak sel epidermis.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
GEJALA KLINIS
Sebagaimana disebabkan diatas bahwa ada dua jenis bahan iritan, maka dermatitis kontak iritan juga ada dua macam yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronis.
Dermatititis kontak iritan akut
Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas.
Pada umumnya kelainan kulit muncul segera, tetapi ada segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih setelah esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
Dermatitis kontak iritan kronis
Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak dengan iritan lembah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi oleh karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang beresiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya : mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel dan berkebun.

HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada dermatitis kontak iritan akut (oleh iritan primer), dalam dermatitis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear dan determis bagian atas. Eksositosis di epidermis disertai spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis ini dapat menimbulkan bula subepidermal.
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak irita kronis, timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
PENGOBATAN
Upaya pengobatan dermatitis kontak iritan yang terpenting adalah menyingkirkan pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik maupun kimiawi. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka dermatitis iritan tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis bisa diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan, untuk mencegah kontak dengan bahan tersebut.
PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada dermatitis kontak iritan kronis yang penyebabnya multi faktor.

II. 3. DERMATITIS KONTAK ALERGIK
EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat.

ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat (delayed hypersensitivit), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses leh makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
GEJALA KLINIS
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak :
Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.
Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh bahan pengharum.
Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, eyeshadows, dan obat mata.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing-aids.
Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.
Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen.
Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita, dan alergen yang ada di tangan.
Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu.
DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.
UJI TEMPEL
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtika sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi tipe cresendo).
PENGOBATAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksufatif (madidans), misalnya prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal.
PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M., Aisah S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kedua, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993

Arnold HL., Odom RB., James WD., Andrew’s Dissease of Skin, 8th ed, London : WB Sauders Co., 1990, 89-114

Larsen WG, Allergic Contact Dermatitis, In : Moschella SL., Hurley HJ, Dermatology, 3rd ed, London : WB Sauders Co., 1992, 391-400

Related Post: